Kita semua menyaksikan. Pintu aspirasi terbuka lebar, menyambut harapan akan PKB yang adil, mengumpulkan poin-poin perjuangan dari Musnik, dan menakar upah serta bonus yang layak. Di balik meja perundingan, di tengah hiruk-pikuk perjuangan melawan mereka yang ingin melemahkan organisasi, ada sekelompok kecil jiwa yang berkorban, menggariskan setiap kata dengan peluh dan keberanian.
Namun, di masa-masa krusial itulah, sunyi senyap melanda.
Keheningan di Palagan Perjuangan
Kita seperti kehilangan mata rantai vital. Sulitnya mencari sosok yang kritis, yang mau berbagi waktu, yang berani mengeluarkan ide dan gagasan, serta memberikan argumentasi yang kuat bak baja, terasa menyesakkan. Organisasi seakan kekurangan orang, kekurangan kekuatan.
Kita adalah bahtera yang nyaris karam, dan para kader yang berani mengayuh di tengah badai seakan sulit dicari. Ke mana perginya nurani yang seharusnya menyala? Mengapa kecerdasan yang selama ini diasah melalui pendidikan organisasi, justru tak digunakan untuk mempertajam pembelaan?
Inilah paradoks yang menyakitkan.
Gambaran ini bukanlah fenomena langka. Setiap organisasi, entah serikat pekerja, lembaga sosial, hingga komunitas berbasis hobi, pasti pernah mengalami fase di mana api perjuangan meredup di sebagian hati. Dinamika antara militansi dan apatisme, antara pengorbanan dan perhitungan, adalah bagian tak terpisahkan dari denyut nadi sebuah kolektivitas. Hal ini biasa terjadi, namun bukan berarti harus dibiarkan.
Tiba-Tiba, Tampaklah Wajah-Wajah "Pahlawan"
Namun, begitu badai berlalu, begitu keberhasilan di tangan, begitu PKB ditandatangani, begitu upah dan bonus meningkat, tiba-tiba... panggung penuh sesak.
Muka-muka rentenir perjuangan, para free rider yang sebelumnya memilih senyap, kini bermunculan. Dengan lihai mereka mencoba memelintir narasi, mengambil sorotan, bahkan berterima kasih kepada pemodal, seolah lupa bahwa kemajuan ini adalah hasil taruhan nyawa dan waktu dari saudara-saudara mereka sendiri. Mereka adalah pahlawan kesiangan, mental-mental penyamun, pembegal perjuangan yang hanya berani tampil setelah situasi benar-benar aman.
Kepada kalian yang baru menampakkan diri, yang mencoba "satu pemikiran dengan musuh" dan menganggapnya sebagai "kebanggaan" setelah pertarungan usai, kami bertanya: Kemana saja Anda selama ini?
Tidakkah Anda melihat bahwa keberhasilan ini adalah karpet merah yang digelar oleh mereka yang berjuang berisik di saat melawan dan memilih diam saat keberhasilan di tangan? Tabiat ini, seperti Sengkuni dalam cerita lama, hanya akan menghancurkan fondasi organisasi dari dalam.
Panggilan Kesadaran Paripurna
Organisasi kita adalah rumah, dan perjuangan adalah napasnya. Pendidikan yang kita terima sejatinya adalah alat untuk mempertajam kecerdasan agar kita mampu berargumen luar biasa, berdiri tegak tanpa gentar.
Mari kita hentikan sandiwara ini!
Jadilah rimbun yang menaungi, yang memberikan keteduhan, yang memanggul tanggung jawab kolektif. Jangan biarkan mentalitas Sengkuni meracuni kebersamaan.
Kembali kepada kesadaran paripurna:
* Kesadaran Berkorban: Bahwa organisasi tidak akan kuat tanpa waktu, ide, dan keberanian Anda saat dibutuhkan.
* Kesadaran Berintegritas: Bahwa berterima kasihlah kepada perjuangan, bukan kepada mereka yang semestinya dilawan. Jangan menjadi free rider yang merampas keringat pejuang sejati.
* Kesadaran Berjuang: Bahwa tempat kita adalah di garis depan saat badai, bukan di balik layar saat pesta kemenangan.
Perjuangan ini bukan hanya tentang selembar PKB atau angka upah di slip gaji. Ini tentang harga diri dan martabat kita sebagai pekerja. Ini tentang membuktikan bahwa kita memiliki kader yang utuh, yang berani, yang kritis, yang takkan pernah mengkhianati cita-cita.
Bangkitlah! Jangan menunggu situasi aman untuk bersuara! Jangan menjadi penonton di rumah sendiri!
Bergabunglah dalam diskusi, keluarkan gagasanmu, berikan argumentasimu, dan jadilah pilar kekuatan yang sejati. Sebab organisasi ini milik kita semua, dan kekuatannya terletak pada keberanian dan kesetiaan setiap anggotanya, sebelum, saat, dan setelah perjuangan usai.
Siapa yang berjuang, mereka yang berhak memegang panji kemenangan. Jangan biarkan mereka yang diam menjadi penguasa narasi.