STIGMA PENGUSAHA TERHADAP SERIKAT PEKERJA



👨‍🔧


brigade.org -STIGMA PENGUSAHA TERHADAP SERIKAT PEKERJA

Keberadaan serikat pekerja (serikat buruh) merupakan hak fundamental bagi pekerja, dijamin oleh undang-undang dan konvensi internasional, sebagai sarana untuk mencapai kesetaraan posisi tawar dengan pihak pengusaha/pemodal. Namun, di mata banyak pengusaha, serikat pekerja kerap kali tidak dilihat sebagai mitra dialog, melainkan sebagai hambatan, ancaman, atau sumber konflik yang berpotensi merugikan bisnis. Stigma negatif ini menciptakan narasi kontraproduktif yang melanggengkan ketegangan dalam hubungan industrial.

1. Narasi Serikat Pekerja sebagai "Penghambat Investasi dan Produktivitas"

Ini adalah stigma yang paling umum dan sering disebarkan. Dalam narasi ini, serikat pekerja digambarkan sebagai:

 * Penyebab Biaya Tinggi: Tuntutan kenaikan upah, perbaikan tunjangan, dan kondisi kerja yang lebih baik sering kali dianggap sebagai beban biaya yang tidak perlu dan mengurangi margin keuntungan. Pengusaha menganggap ini membuat Indonesia tidak kompetitif di mata investor global.

 * Sumber Ketidakpastian: Aksi mogok kerja atau unjuk rasa—meskipun merupakan hak konstitusional—dipersepsikan sebagai gangguan besar terhadap operasional, produksi, dan rantai pasok. Ini menciptakan iklim usaha yang tidak stabil dan menakutkan bagi calon investor.

 * Musuh Produktivitas: Kegiatan serikat, seperti rapat, organisasi, atau advokasi, dianggap mengalihkan fokus pekerja dari tugas utama, sehingga menurunkan efisiensi dan produktivitas perusahaan.

Dampak: Narasi ini sering digunakan untuk mendorong kebijakan yang "ramah investasi" namun mengorbankan perlindungan ketenagakerjaan, seperti yang terlihat dalam wacana yang memojokkan undang-undang perburuhan sebagai faktor penghambat penanaman modal.

2. Narasi Serikat Pekerja sebagai "Politik Praktis dan Provokasi"

Stigma ini merujuk pada motivasi di balik gerakan serikat yang dianggap tidak murni terkait kesejahteraan, melainkan didorong oleh kepentingan lain:

 * Provokator dan Radikal: Para aktivis dan pengurus serikat sering distigma sebagai "orang luar" atau "agitator" yang memprovokasi pekerja. Aksi mereka dituding tidak murni memperjuangkan hak anggota, melainkan untuk kepentingan politik, personal, atau bahkan dianggap berafiliasi dengan ideologi radikal.

 * Otoriter dan Tidak Representatif: Dalam beberapa kasus, pengusaha beranggapan serikat dikuasai oleh segelintir pengurus yang tidak mewakili kepentingan mayoritas pekerja, namun tetap memaksakan kehendak melalui intimidasi atau mobilisasi massa.

Dampak: Pengusaha yang meyakini hal ini cenderung memilih tidak mengakui serikat yang sah, menolak perundingan Bersama (PKB), atau bahkan melakukan upaya union busting (pemberangusan serikat) melalui intimidasi, pemecatan pengurus, mutasi, hingga mendirikan yellow union (serikat pekerja tandingan/boneka).

3. Narasi Serikat Pekerja sebagai "Pecah Belah Internal Perusahaan"

Serikat pekerja dipandang sebagai faktor pemecah belah antara pekerja yang berserikat dan yang tidak, serta antara manajemen dan karyawan:

 * Menciptakan "Us vs. Them": Keberadaan serikat dianggap menciptakan dikotomi antara "manajemen" dan "buruh" yang saling berhadapan. Padahal, pengusaha idealnya ingin membina hubungan kerja yang harmonis berdasarkan kekeluargaan atau hubungan langsung antara atasan dan bawahan, tanpa perantara.

 * Menghambat Komunikasi Langsung: Adanya serikat dianggap menghambat saluran komunikasi langsung antara pekerja dan manajemen. Setiap masalah harus melalui birokrasi serikat, yang dianggap memperlambat pengambilan keputusan dan solusi.

Dampak: Perusahaan sering kali melakukan diskriminasi perlakuan terhadap anggota serikat, seperti tidak memberi kesempatan promosi atau pelatihan, yang secara hukum dilarang namun masih marak terjadi di lapangan.

Kesimpulan: Menggeser Paradigma

Secara komprehensif, narasi stigma ini berakar dari pandangan yang murni kapitalistik yang menempatkan keuntungan (profit) di atas segalanya. Dalam pandangan ini, hak-hak pekerja dan kekuatan tawar kolektif yang diperjuangkan serikat dilihat sebagai variabel yang mengancam maksimalisasi keuntungan.

Padahal, serikat pekerja yang kuat dan profesional sejatinya dapat menjadi mitra strategis yang:

 * Memperjelas Aturan Main: Mendorong terwujudnya Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang membuat kepastian kerja lebih terjamin.

 * Meningkatkan Loyalitas: Kesejahteraan yang terjamin melalui perundingan serikat sering kali berbanding lurus dengan peningkatan loyalitas dan retensi pekerja.

 * Mengelola Konflik: Berfungsi sebagai saluran resmi untuk menyelesaikan keluhan pekerja sebelum menjadi konflik besar.

Mengatasi stigma ini memerlukan upaya serius dari pengusaha untuk mengubah paradigma dari "serikat sebagai musuh" menjadi "serikat sebagai mitra" dalam mencapai hubungan industrial yang harmonis, stabil, dan berkelanjutan.

Dani-media brigade


1 Comments

Previous Post Next Post